Death Pen
Pada suatu hari...
Di festival Comicstrip, suasana tampak ramai. Meriah. Sorakkan dan teriakan para peminat komik yang berebut minta tandatangan para komukus yang duduk di setiap stand menambah suasana festival semakin meriah. Para peminat komik rela berdesakan hanya untuk mendapat tandatangan para Komikus yang mereka gemari, yang dijaga ketat oleh pengawal agar tidak terjadi kerusuhan.
Salah seorang komikus wanita di sela-sela menggoreskan tandatangannya di lembar kertas berwarna putih mengarahkan pandangannya dengan penuh bangga ke penggemar komiknya yang berdesakan meminta tandatangannya. Setiap menyerahkan dan menerima kertas putih dari penggemarnya sebuah senyum menyembang lebar, dan tangannya dengan lincah menggoreskan tinta penanya pada setiap kertas putih yang ada di hadapannya hingga tercetaklah sebuah tandatangan yang cantik di atas kertas putih itu.
“Terima kasih, Kak Rina,” seru para penggemarnya selepas mendapat coretan tandatangan darinya dan membawa kertas berwarna putih yang telah berisi tandatangannya dengan wajah ceriah.
Wanita komikus itu, yang ternyata bernama Rina, hanya tersenyum membalas ucapan terimakasih mereka.
*****
Entah sudah berapa jam para Komikus duduk dan tersenyum untuk setiap fansnya, begitu juga Rina yang selalu tersenyum lebar buat setiap fansnya yang datang ke standnya untuk minta tanda-tangannya. Rasa lelah tidak dirasakannya meskipun jam terus berputar dan waktu siang pun menyaris berlalu. Guna mengganjal rasa laparnya, sambil lalu ia menyantap makanan ringan yang dibelinya dari minimarket saat dalam perjalanan ke tempat acara Comicstrip.
Waktu acara Comicstrip pun usai, yaitu tepatnya jam 15.00 WIB tepat…
Para Komikus beranjak dari standnya masing-masing untuk beristirahat. Mereka mendatangi ruang istrirahat yang disediahkan oleh panitia.
Ruang istirahat jadi riuh oleh celotehan para Komikus. Mereka bercanda rian dan mengobrol untuk menghilangkan rasa penat yang menghampiri tubuh mereka. Obrolan mereka terlihat seru dan hidup, hingga tidak jarang suara tawa menggema menghiasi di sela-sela obrolan mereka.
“Kita memang perlu mengadakan acara seperti ini,” ujar salah seorang dari mereka dengan nada semangat.
“Ya, benar, Kang Tardi,” sahut yang lain tak kalah semangatnya. “Setidaknya kita mesti mengadakan acara ini setahun sekali.”
“Saya setuju itu,” sahut yang lainnya.
“Tapi dananya darimana?” sela yang lainnya lagi.
“Yah, mau tidak mau kita mesti patungan,” jawab Tardi optimis.
Semua komikus yang ada di ruangan itu mengangguk setuju.
“Coba kalau kita punya Hari Komik Sedunia, pasti akan lebih seru lagi acara ini,” celetuk Komikus yang berambut gonrong.
Yang lain tertawa mendengar celetukan komikus itu.
“Ide berlian! Ide berlian!” sahut mereka di sela-sela tawanya.
“Tetapi menurut aku, daripada berhayal diterbitkannya Hari Komik Sedunia, lebih baik bagaimana kalau kita bentuk komunitas,” usul Rina tiba-tiba.
Suara tawa pun sirna seketika dan suasana jadi senyap. Semua mata tertuju ke arah Rina.
“Lho, kenapa? apa ada yang aneh dengan usulku itu?” tanya Rina kala semua pandangan tertuju padanya.
Semua kepala menggeleng.
“Iya, ya, kenapa tidak terpikir dari dulu?” ujar seorang dari mereka.
“Itu ide bagus, Rina,” sahut Komikus wanita yang lain. “Saya setuju dengan usul Rina itu. Bagaimana yang lain?”
Serempak mereka menganggukan kepala.
Setelah itu suasana riuh pun sirna. Mereka tampak serius membicarakan seputar pembentukan komunitas. Berbagai usulan dilontarkan. Saking seriusnya, sampai tidak terasa Magrib pun tiba.
“Oke, untuk sementara kita pending dulu pembahasan ini,” ujar salah seorang di antara mereka yang lebih senior. “Nanti kita lanjutkan lagi pembahasan ini lebih dalam guna merealisasikannya. Bagaimana? Setuju?”
Semua Komukus yang hadir mengangguk setuju.
“Nanti akan ada undangan untuk itu,” ujar senior itu lagi.
Setelah itu mereka membubarkan diri, namun ada juga beberapa di antara mereka yang masih tidak beranjak dari ruangan itu. Bahkan mereka saling menyambangi dan melanjutkan pembicaraan dengan serius.
Rina yang merasa tubuhnya lelah, langsung berdiri dari tempat duduknya dan beranjak menuju pintu ruangan istirahat. Namun sebelum melintasi ruang istirahat, Tardi berseru memanggilnya:
“Mbak Rina, sebentar!”